Investree, Dari Pionir Fintech Indonesia hingga Kehancuran Mendadak

Investree, Dari Pionir Fintech Indonesia hingga Kehancuran Mendadak

Share

Industri fintech di Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak kemunculannya pada pertengahan 2010-an. Salah satu perusahaan yang menjadi pelopor dalam sektor ini adalah Investree, platform peer-to-peer (P2P) lending yang didirikan pada tahun 2015 oleh Adrian Gunadi dan Amiruddin Al-Rahab. Dengan visi untuk mengatasi kesenjangan pembiayaan di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Investree tumbuh menjadi salah satu pemain utama di industri fintech Indonesia.

Namun, perjalanan Investree dari puncak kesuksesan hingga kejatuhan yang mendadak pada tahun 2024 menunjukkan betapa dinamisnya industri keuangan digital ini. Dari perusahaan yang meraih banyak penghargaan hingga menghadapi krisis kredit macet dan pencabutan izin usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kisah Investree adalah pelajaran penting bagi para pelaku bisnis fintech tentang risiko dan tantangan dalam menjalankan platform P2P lending.

Sejarah Awal Investree: Membangun Fondasi Sebagai Pelopor Fintech

Investree resmi didirikan pada tahun 2015 dengan tujuan untuk memberikan solusi pembiayaan kepada pelaku UMKM melalui platform P2P lending. Model bisnisnya sederhana namun inovatif: menghubungkan pemberi pinjaman (lender) dengan peminjam (borrower) yang membutuhkan modal usaha. UMKM sering kali kesulitan mendapatkan akses pembiayaan dari bank karena persyaratan yang ketat. Investree menawarkan solusi bagi masalah ini dengan menyediakan pembiayaan yang lebih fleksibel.

Pada tahun 2017, Investree mendapatkan sertifikasi resmi dari OJK, yang mengawasi operasional platform fintech ini. Ini menjadi langkah penting bagi perusahaan karena memastikan keabsahan dan kredibilitasnya di mata publik dan regulator. Tak hanya itu, Investree juga meluncurkan Investree Syariah, layanan pembiayaan berbasis syariah yang mendapatkan dukungan dari Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Dengan adanya produk berbasis syariah, Investree berhasil memperluas basis penggunanya, terutama di kalangan masyarakat yang lebih nyaman bertransaksi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

membangun fondasi sebagai pelopor fintech

Kesuksesan dan Ekspansi: Tahun-Tahun Emas Investree

Antara tahun 2017 hingga 2022, Investree mengalami pertumbuhan yang signifikan. Dengan total pinjaman yang disalurkan mencapai Rp14,78 triliun pada awal 2022, Investree mencatatkan prestasi sebagai salah satu platform P2P lending terbesar di Indonesia. Pada periode ini, Investree juga berhasil menjalin kerja sama strategis dengan berbagai lembaga keuangan, termasuk beberapa bank besar di Indonesia. Tidak hanya itu, perusahaan ini juga berekspansi ke pasar internasional dengan mendirikan Investree Singapore dan memperluas jaringan operasionalnya di kawasan Asia Tenggara.

Keberhasilan ini ditandai dengan berbagai penghargaan bergengsi, termasuk “Best Peer-to-Peer Lending for SMEs” pada tahun 2017 dari The Asian Banker, yang mengukuhkan posisi Investree sebagai pemimpin dalam industri fintech. Adrian Gunadi, CEO dan salah satu pendiri, bahkan dinobatkan sebagai “Tokoh Finansial Indonesia 2018” oleh Majalah Investor.

Tanda-tanda Awal Krisis: Meningkatnya Kredit Macet

Meski Investree terlihat semakin kuat, masalah mulai muncul di balik layar pada tahun 2023. Sektor UMKM, yang menjadi basis utama borrower platform ini, mulai mengalami tekanan akibat perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian pasar. Beberapa industri, seperti tekstil dan garmen, sangat terdampak oleh penurunan permintaan dan ketidakmampuan membayar kembali pinjaman. Hal ini menyebabkan meningkatnya tingkat kredit macet (default) di platform Investree.

Tingkat keberhasilan pengembalian dana dalam 90 hari (TKB90), yang menjadi tolok ukur performa platform P2P lending, mulai menurun. Pada awal 2024, krisis ini semakin jelas ketika banyak borrower gagal melunasi kewajiban mereka, yang berdampak negatif pada likuiditas perusahaan dan merusak kepercayaan lender. Meski manajemen berusaha menangani masalah ini, situasi menjadi semakin sulit untuk dikendalikan.

Krisis Manajemen dan Pergantian Kepemimpinan

Krisis keuangan ini kemudian diperparah oleh masalah manajemen internal. Pada awal 2024, Adrian Gunadi, CEO Investree, diberhentikan dari posisinya setelah gagal menangani meningkatnya kredit macet dan masalah operasional lainnya. Kepergian Adrian dari perusahaan menambah ketidakstabilan, dan rumor yang beredar menyebutkan bahwa ia meninggalkan Indonesia setelah diberhentikan, yang semakin memicu spekulasi negatif tentang kondisi internal perusahaan.

Manajemen baru yang ditunjuk untuk memimpin perusahaan berusaha memperbaiki situasi dengan berbagai upaya, termasuk mencoba menarik lebih banyak investor dan lender untuk menjaga likuiditas. Namun, masalah mendasar terkait kredit macet dan hilangnya kepercayaan publik sulit diatasi dalam waktu singkat.

krisis manajemen dan pergantian kepemimpinan

Pencabutan Izin Usaha oleh OJK dan Bangkrutnya Investree

Pada Oktober 2024, OJK secara resmi mencabut izin usaha Investree. Pencabutan izin ini dilakukan setelah OJK menemukan bahwa perusahaan tidak lagi memenuhi persyaratan modal minimum yang diperlukan untuk beroperasi sebagai platform P2P lending. Selain itu, rasio kredit macet yang semakin memburuk – dengan beberapa sektor borrower yang tidak mampu melunasi pinjaman mereka – membuat Investree tidak lagi dianggap layak untuk melanjutkan operasional.

Keputusan OJK ini menandai berakhirnya perjalanan Investree sebagai pionir fintech di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menjadi pemimpin pasar dan inovator di bidang pembiayaan UMKM, Investree harus menutup operasinya. Dengan pencabutan izin ini, nasib para lender yang dananya masih tertahan di platform serta borrower yang belum melunasi kewajiban mereka menjadi topik yang hangat diperdebatkan.

pencabutan izin usaha oleh ojk

Pelajaran dari Jatuhnya Investree

Kasus Investree menjadi pelajaran penting bagi industri fintech di Indonesia. Meskipun inovasi di sektor P2P lending memberikan solusi yang sangat dibutuhkan bagi UMKM, keberhasilan jangka panjang perusahaan fintech sangat bergantung pada manajemen risiko yang baik, keseimbangan likuiditas, dan kepatuhan terhadap regulasi.

Peningkatan kredit macet yang tidak terkelola dengan baik serta krisis manajemen internal menunjukkan bahwa pertumbuhan cepat tanpa fondasi yang kuat dapat menjadi bumerang bagi perusahaan fintech. Selain itu, kepercayaan dari lender dan investor adalah aset yang sangat penting dalam model bisnis P2P lending. Begitu kepercayaan ini hilang, seperti yang terjadi pada Investree, sangat sulit untuk memulihkannya.

Kesimpulan

Perjalanan Investree dari pionir fintech hingga akhirnya bangkrut adalah cerminan betapa dinamis dan menantangnya industri keuangan digital di Indonesia. Meski pada awalnya menawarkan solusi inovatif dan berhasil meraih banyak penghargaan, Investree tidak mampu mengatasi tantangan besar dalam manajemen risiko kredit dan likuiditas. Krisis manajemen, kredit macet yang meningkat, serta hilangnya kepercayaan publik dan regulator pada akhirnya membuat Investree harus menutup operasi.

Bagi pemain lain di industri fintech, kasus Investree adalah pengingat penting bahwa inovasi dan pertumbuhan harus selalu dibarengi dengan tata kelola yang baik, manajemen risiko yang hati-hati, dan kepatuhan yang ketat terhadap regulasi yang berlaku.

Pilihan Rekomendasi Broker

Berikut pilihan rekomendasi broker yang telah kami uji secara langsung dari sisi keamanan dana, kualitas eksekusi, kemudahan deposit dan penarikan, serta banyak hal lainnya. Silahkan klik link berikut.

Indovestory Portal Berita Forex Terkini

Indovestory merupakan portal berita yang memberikan informasi terkini dan edukasi seputar kegiatan perdagangan valas atau Trading Forex.

Kategori

ForexCryptoSaham

Hubungi Kami

Berlangganan Informasi Terbaru

Subscribe
Send Message

Get Latest news daily to your mail